Sistem Pendidikan di Indonesia mengakui sejumlah jenis pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan. Secara khusus, pendidikan keagamaan diatur dalam pasal 30 UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Pelaksanaan pendidikan keagamaan bisa diselenggarakan oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat, pada jalur pendidikan formal, non formal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Ketentuan teknis mengenai pendidikan diniyah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pendidikan diniyah dilakukan secara formal dan nonformal.
Nah, salah satu bentuk pendidikan diniyah non formal adalah pendidikan Al-Qur’an. Pendidikan Al-Qur’an ini merupakan bentuk pelaksanaan pendidikan Islam paling dasar.
Jenis pendidikan Al-Qur’an ini ada yang terlembagakan seperti Taman Pendidikan Al-Qur’an maupun yang tidak terlembagakan. Umumnya, model pengajarannya menggunakan sistem sorogan, yakni setiap peserta didik menghadap kiai/ustaz (guru) ataupun asistennya untuk mendapatkan pengajaran.
Sistem sorogan ini merupakan salah satu metode pengajaran yang diterapkan di pondok pesantren. Tujuannya, agar guru mengetahui perkembangan pembelajaran para peserta didik (santri) satu per satu, sehingga bisa memberikan penilaian. Di daerah pedesaan seseorang yang mengajarkan pendidikan Al-Qur’an dikenal dengan sebutan guru ngaji (ustaz).
Mereka umumnya adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang keislaman dan diberi kepercayaan masyarakat untuk mengajarkan Al-Qur’an. Keberadaan guru ngaji di surau, langgar/musala ataupun masjid yang berkembang di kampung-kampung sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum Indonesia Merdeka.
Di sela-sela mengajarkan Al-Qur’an, mereka juga memberikan wejangan kepada para santrinya. Juga memberikan pelajaran tambahan berupa hafalan doa-doa hingga praktik salat.
Maka tidaklah berlebihan jika menyebut guru ngaji sebagai peletak dasar Pendidikan Islam bagi setiap santrinya. Keberadaan guru ngaji mulai diakui oleh negara sejak lahirnya UU 30/2003 yang diatur lebih teknis dalam PP 55/2007. Meskipun keberadaannya sangat vital dalam mencetak anak-anak didik dalam pembelajaran Al-Qur’an, namun tidak sebanding dengan penghasilan yang didapatkan.
Para guru ngaji dalam menjalankan aktivitas pembelajaran mendudukkannya dalam konteks ibadah. Mereka bekerja secara ikhlas dengan mengharap rida dari Allah SWT.
Umumnya, para guru ngaji ini memiliki pekerjaan utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sesekali mendapatkan tali asih tahunan dari masyarakat ataupun dari para wali santri yang menitipkan anaknya belajar Al-Qur’an.
Namun, hal itu belum lah cukup karena tidak sesuai dengan beban dan tanggung jawabnya. Belum lagi mereka harus telaten dan sabar menghadapi anak didik yang sering kali menjengkelkan.
Para guru ngaji ini tidak bisa sembarangan memberikan tindakan kepada para santri, karena khawatir menjadi persoalan hukum. Terlebih masyarakat hari ini lebih kritis dibanding era 1980-an yang menyerahkan sepenuhnya kepada guru ngaji untuk mendidik anak-anaknya.
Guru ngaji juga turut serta dalam tugas pendidikan yang seharusnya juga mendapatkan perhatian dari negara. Pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sudah memerhatikan keberadaan guru ngaji melalui pemberian insentif melalui APBD.
Besarnya bervariasi bergantung kemampuan keuangan setiap daerah. Jika pemerintah daerah berani dan mampu membuat politik anggaran yang memihak guru ngaji, bagaimana dengan pemerintah pusat?
Dalam rapat paripurna DPR (16/8) Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan pengantar nota keuangan tahun 2024. Anggaran pendidikan tahun 2024 naik 19 persen dari pagu APBN 2023 sebesar Rp 552,1 triliun menjadi Rp 660,8 triliun di 2024. Sebanyak Rp 15 triliun dialokasikan untuk Dana Abadi Pendidikan yang di dalamnya termasuk Dana Abadi Pesantren sebesar Rp 2 triliun.
Dana Abadi Pesantren ini merupakan perintah dari UU 18/2019 tentang Pesantren yang aturan teknisnya melalui Perpres Nomor 82 tahun 2021. Dana Pendidikan itu juga termasuk yang ada di pos Kementerian Agama yang tahun 2024 mengalami kenaikan Rp 1,72 triliun dari pagu APBN 2023 menjadi Rp 72,1663 triliun.
Ada alokasi dana insentif pesantren dan Pendidikan keagamaan Islam (Madrasah Diniyah Takmiliyah dan Pendidikan Qur’an) senilai Rp 50 miliar yang diperuntukkan bagi 20.000 orang. Padahal, data dari Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) menyebutkan jumlah guru ngaji yang tercatat di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) dan Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKA) di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 928.000 orang.
Di luar jumlah itu masih banyak guru ngaji yang belum tercatat. Sehingga secara keseluruhan jumlah guru ngaji di Indonesia melebihi 1 juta orang. Umumnya mereka yang terdata telah mendapatkan insentif dari pemerintah daerah sebesar Rp 100.000 setiap bulan. Berapa besaran ideal untuk insentif guru ngaji?
Semuanya kembali kepada keputusan politik pemerintah dan DPR. Seandainya APBN memberikan ruang untuk menampung pemberian insentif guru ngaji sebesar Rp 500.000 per orang setiap bulan, maka untuk 1 juta guru ngaji dalam sebulan dibutuhkan Rp 500 miliar.
Dalam setahun, dibutuhkan Rp 6 triliun untuk insentif bagi guru ngaji. Jumlah tersebut bisa berkurang atau bertambah bergantung dengan standar nominal yang diinginkan. Jika dana tidak mencukupi, harus ada kebijakan politik anggaran yang memihak guru ngaji.
Salah satunya bersumber dari Dana Desa yang ke depan kemungkinan diperbolehkan digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Para guru ngaji tidak akan menuntut materi dalam menjalankan tugas mulia tersebut. Mereka tidak butuh pengakuan bahkan tidak ingin dikenal. Maka perannya tidak akan pernah muncul di hadapan sorot kamera media.
Mereka hanya bekerja secara ikhlas dengan niat ibadah karena panggilan tugas mulia untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada generasi Islam. Hanya ketakwaan kepada Allah SWT yang menguatkan mereka dalam menjalankan tugas mulia tersebut.
Namun, tidak berlebihan jika pemangku kebijakan politik anggaran turut juga memikirkan nasib mereka. Toh, tujuan berpolitik dan bernegara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, termasuk di dalamnya para guru ngaji yang selama ini terpinggirkan.
Achmad Baidowi, Sekretaris Fraksi PPP DPR RI