Kaum Santri Dalam Tradisi Gerakan Pembaruan di Indonesia

JAKARTA – KH Saifuddin Zuhri menyebut bahwa “Kaum Santri” merupakan anak-anak rakyat, amat paham tentang arti kata rakyat, paham benar tentang kebudayaan rakyat, tentang keseniannya, agamanya, jalan pikirannya, cara hidupnya, semangat dan cita-citanya, suka dukanya, tentang nasibnya, dan segala lika-liku hidup rakyat.

Dalam sejarahnya kaum santri terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, Hal ini menandakan bahwa kaum santri sebagai pionir penting dalam mendirikan Indonesia. Kaum santri telah terbukti menjadi agen perubahan dalam menciptakan peradaban di Indonesia. Menjadi bagian solusi dari berbagai persoalan sosial masyarakat, bangsa dan negara.

Seperti yang kita tahu, para santri tumbuh dari akar nasionalisme pesantren dan besar dari budaya Indonesia yang sangat kuat. Ia memiliki idealisme dengan konstruk pemikiran yang terbuka. Meskipun demikian, santri tidak pernah lupa dengan adab dan sopan santun khususnya terhadap guru (ulama’). Ini yang menjadi alasan mengapa santri mempunyai kelebihan dan keunikan ketimbang yang bukan santri.

Kiprah kaum santri semakin relevan disaat negara dihadapkan dengan kelompok keagamaan transnasional yang tidak jelas identitas, budaya dan paham keagamaannya. Mereka selama ini cenderung merongrong nasionalisme keindonesiaan dari dalam dengan mempengaruhi masyarakat luas. Dalam ruang ini, kaum santri mempu mengambil peran dalam menangani persoalan tersebut. Hal ini tidak terlepas dari lingkungan dimana santri lahir dan tumbuh, ia ditempa dalam khazanah keilmuan yang kental dan kuat.

Horikoshi mengatakan, yang membuat beda kaum santri dari yang lainnya terletak pada kekuatannya yang berakar pada kredibilitas moral dan kepemimpinan mempertahankan pranata sosial yang diinginkan. Selain itu kekuatan kepemimpinan kaum santri tidak terlepas dari kemampuannya dalam berinteraksi dengan masyarakat dan mampu menjawab segala persoalan yang dihadapi masyarakat

Sebab itu keberadaan kaum santri akan selalu eksis dalam tantangan zaman yang berbeda, biarpun zaman berubah sedemikian rupa santri akan selalu berdiri kokoh dalam mengisi perubahan tersebut, kaum santri tetap menjadikan dirinya kuat dan mampu menghadapi gejolak budaya yang ditimbulkan oleh arus globalisasi dan pengaruh masifnya teknologi informasi, ia bisa memberikan warna tersendiri dalam menghadapi arus perubahan zaman.

Kita tahu sosok Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang merupakan salah satu cendekiawan muslim Indonesia, lahir dan timbuh dari akar budaya Pesantren. Cak Nur mampu menjelma menjadi sosok intelektual Islam dan punya pengaruh besar dalam peradaban Indonesia.

Saat Cak Nur menjabat Ketua Umum PB HMI, ia melontarkan gagasannya tentang pembaruan pemikiran Islam, hal ini sebagai bentuk respons intelektual terhadap kondisi sosial politik umat Islam yang berada pada posisi periferal. Cak Nur berpandangan jika “modernisasi berarti berfikir dan bekerja sesuai dengan hukum-hukum alam. Karena itu, modernisasi adalah suatu keharusan bahkan suatu kewajiban mutlak, Modernisasi merupakan perintah dan ajaran Tuhan. Gagagasn tersebut menjadi cikal bakal lahirnya sebuah kebijakan pada masa pemerintahan orde baru yaitu, “era pembangunan” (developmentalism) yang berparadigma modernis.

Pandangan Cak Nur tentang Islam, dan Indonesia tidak terlepas bahkan sangat dipengaruhi dari pendidikan modern dan pesantren. Ia konsisten mengemukakan buah pikirannya tentang gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Pergulatan pemikiran Cak Nur tersebut kemudian berbuah gagasan besar dalam karya berjudul “Islam Kemodernan dan Keindonesian” (1987).

Cak Nur adalah representasi cendekiawan muslim sekaligus tokoh HMI yang konsisten dalam keilmuan. gagasannya yang terbuka, cinta damai lintas batas dan menghargai akal sehat menjadikannya tauladan kader HMI seluruh Indonesia.

Melihat dari jejak langkah tersebut, tidak heran jika belakangan ini kaum santri semakin memperkuat identitas dan eksistensi kesantriannya dalam mengisi ruang pembangunan bangsa. Hal ini tidak lepas dari nasionalisme tinggi yang dimiliki kaum santri. Salah besar jika sebagian kalangan menganggap santri hanya memahami agama. Lebih dari itu, dalam jiwa santri, agama dan nasionalisme menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Munawir Aziz mengatakan dalam bukunya bukunya ‘Pahlawan Santri’ bahwa para santri membentengi Indonesia dari pelbagai ancaman selama beradab-abad, dari serbuan kolonial, agresi militer hingga ancaman terhadap ideologi Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Ini menandakan bahwa santri menjadi tulang punggung dalam memperjuangkan maupun mengisi kemerdekaan Indonesia.

Lebih jauh sejarah mencatat pada fase pra kemerdekaan dan awal kemerdekaa, kaum santri tidak segan mengambil bagian penting dalam usaha memerdekakan bangsa. Santri menjadi pemantik perlawanan terhadap penjajahan. Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya menjadi peristiwa bersejarah ketika santri memerankan diri sebagai ujung tombak perlawanan dan pengusiran penjajah Belanda dari tanah air waktu itu.

Douwes Dakker mengemukakan, jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti yang diperlihatkan oleh sejaranya sehingga mencapai kemerdekaan. Dari sini kita dapat melihat kalau dunia pesantren dan spirit Islam punya kiprah yang sangat besar dalam pergerakan nasional.

Ini menunjukkan bahwa keberadaan pesantren dan kaum santri punya andil besar dalam membangun jiwa nasionalisme, merebut dan memperjuangakan kemerdekaan Indonesia. Karena keberadaan Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pertahanan fisik terhadap intimidasi dari penjajahan belanda, pesantren lebih daripada itu, pesantren juga menjadi sebuah pertahanan yang bersifat mental ataupun moral.

KH. Saifuddin Zuhri menceritakan dalam bukunya ‘Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya’, bahwa KH. Hasyim Asy’ari memanggil KH. Wahab Hasbulloh, KH. Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB ANO (Ansor Nahdlatoel Oelama).

Kemudian KH. Hasyim Asy’ari mendeklarasikan sebuah seruan Jihad Fii Sabilillah yang saat ini dikenal dengan istilah Resolusi Jihad. Fauzi menyebut Resolusi Jihad ini dikumandangkan sebagai jawaban para tokoh ulama pesantren yang didasarkan atas dalil agama Islam yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahakan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah.

Seruan ini berhasil membangkitkan semangat juang kalangan santri untuk melawan penjajah. Para kiai dan santri kemudian bergabung dengan pasukan Sabilillah dan Hizbullah yang terbentuk sebagai respon atas Resolusi Jihad. Kelompok ini kemudian banyak berperan penting dalam peristiwa 10 November yang kini kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Dalam film Sang Kiai (2013) menggambarkan secara jelas bahwa kaum santri terlibat langsung dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan.

Resolusi Jihad ini dikumandangkan sebagai jawaban para tokoh ulama pesantren yang didasarkan atas dalil agama Islam yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahakan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah.

Peranan santri dari dulu hingga sekarang menunjukan bahwa santri terus konsisten dalam mengisi pembangunan Indonesia, kaum santri tidak hanya jago menfatwakan hukum, membaca kitab kuning, dan ceramah, namun lebih daripada itu santri hari ini senantiasa berada di garda terdepan dalam menjawab setiap tantangan dan problematika bangsa yang semakin komplek.

Miftahul Arifin
Fauder Taman Belajar Pelangi Nusantara
Ketua Umum Swara Milenial Indonesia (SMI)
Wasekjen PB HMI Bidang Pendidikan dan Riset

*Artikel ini pernah dimuat di Times Indonesia

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

INSTAGRAM

IKUTI KAMI

313,160FansSuka
53,232PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

TERKINI