Rasanya tak telat-telat amat jika penulis masih membincangkan Hari Kebangkitan Nasional. Meski sebetulnya sudah lewat harinya, tapi spirit juang kebangkitan nasional itu tak sedikitpun luntur dari sanubari penulis.
Sepanjang sejarah yang diketahui, kebangkitan nasional merupakan semangat kebangkitan para pemuda Indonesia kala itu untuk meraih kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Hindia Belanda. Kesadaran yang mulai muncul, utamanya sadar sebagai warga pribumi yang harus merdeka dan memiliki identitas kewargaan sendiri menjadi pijakan kemauan tinggi untuk segera lepas dari jeratan penjajah.
Nasionalisme adalah esensi dari kemauan kuat yang lahir saat itu. Menukil Ernest Renan, bahwa nasionalisme adalah kesadaran untuk bersatu yang diwujudkan dengan kepentingan kolekif yang bernilai luhur dan tanpa paksaan. Tujuannya yaitu identitias sebuah bangsa. Lebih tajam, Connor menyebut nasionalisme dengan kesetiaan ataupun loyalitas.
Dengan itu, obsesi masa depan menjadi hal yang wajib diraih. Menguji kesetiaan dengan menghadapi tantangan serta ancaman penjajah yang mengerdilkan kemanusiaan dan menghalangi untuk merdeka. Dengan membawa sejarah perjuangan para pendahulu, bagaimana mereka melawan penjajah, bagaimana merawat semangat juang perlawananan dan bagaimana bertahan hidup, para pemuda mampu meraih cita-cita kemerdekaan.
Spirit perjuangan kebangkitan nasional itu selalu diingatkan dengan peringatan disetiap 20 Mei. Tentu peringatan ini tidak sekedar memperingati, namun juga spirit itu harus dibawa dan dinyatalaksanakan dalam setiap agenda pembangunan Indonesia, baik itu politik, hukum, sosial dan ekonomi. Bagaimanapun, tantangan bangsa kedepan tidaklah mudah. Selalu ada yang ingin “mengendapkan” spirit kebangkitan nasional itu demi kepentingan sesaat.
Bendera LGBT
Salah satu tantangan yang hadir di sela-sela masyarakat memperingati Hari Kebangkitan Nasional yaitu munculnya kelompok Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender atau lebih dikenal dengan istilah LGBT. Tak tanggung-tanggung, setelah kelompok itu tampil di salah satu podcast artis ternama, Kedutaan Besar Inggris di Indonesia ikut andil mendukung LGBT dengan mengibarkan bendera LGBT.
Apa yang dilakukan oleh Kedutaan Besar Inggris, menurut penulis, sangat mengikis etika bediplomasi antar negara sahabat. Nilai-nilai luhur ke-Indonesia-an yang sejatinya dipahami dan dijunjung tinggi oleh Inggris justru jauh dari yang diharapkan.
Tentu secara pribadi, Inggris memiliki hak untuk mengibarkan Bendera LGBT, namun di saat yang sama juga harus menimbang apakah bijak mengibarkan bendera itu di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan ke-Tuhan-an, serta terang melarang aktifitas LGBT. Jika alasannya adalah kebebasan, demokrasi, maka ada norma atau etika yang membatasi kebebasan itu.
Pemerintah pun sampai saat ini seperti tutup mata , padahal secara sadar kehormatan Indonesia sedang “diinjak-injak” oleh Inggris. Tindakan provokatif yang dilakukan Inggris, bagaimanapun, tidak boleh ditolerir. Jika tidak ada peringatan keras, maka kedaulatan negara menjadi tanda tanya eksistensinya.
Berulang-ulang
Provokasi LGBT bukanlah hal baru. Provokasi ini berulang-ulang terjadi seolah sebuah desain besar sedang dibentuk oleh “tangan tak terlihat” untuk menerima perilaku LGBT sebagai hak asasi manusia yang harus dihormati.
Tahun lalu, bangsa ini dihebohkan dengan sebuah komik baru Superman yang bernuansa LGBT. Komik itu berjudul, “Superman: Son Of Kal-El’ yang saat itu rencananya akan dirilis pada 9 November 2021.
Dalam sebuah poster yang dirilis DC Comics dan beredar di seluruh media sosial, terlihat sosok Jon Kent, putra Superman (Clark Kent), hendak mencium reporter pria bernama Jay Nakamura. Akibatnya, hadir pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Melihat anak-anak Indonesia sangat menggemari Superman, mayoritas masyarakat pun menolak dan mendesak agar komik itu diboikot masuk ke Indonesia.
Presidensi G20
Seperti diketahui, bahwa saat ini Indonesia memegang Prisedensi G20. Rencananya, pada akhir tahun 2022 akan diselenggarakan Presidensi G20 di Bali. Presidensi G20 ini akan banyak membahas tentang ekonomi global serta pembangunan dunia, utamanya climate change dan sustainable development.
Sebagai pemegang Presidensi G20, Indonesia semestinya dapat memberikan pemahaman pada Inggris maupun negara-negara sahabat lainnya untuk menekankan pentingnya menghormati nilai-nilai luhur suatu bangsa. Nilai-nilai luhur harus dipahami sebagai landasan pembangunan, terlebih pembangunan yang sifatnya berkelanjutan.
Etika global, etika berdiplomasi harus menjadi penekanan jika kerjasama antar negara ingin dilanjutkan. Jika tidak, pembangunan yang dicanangkan di G20 hanya soal pembangunan ekonomi an sich, namun menafikan pembangunan manusia (Ethic). Bukankah jika KBRI di Inggris melantunkan adzan, pihak pemerintah Inggris lantas menegur langsung pihak KBRI.
Saat ini, yang jadi tanda tanya adalah: Apakah Indonesia mampu menjadi pemegang Presidensi G20 yang berani menegur, “mengemplang” Inggris karena tidak menghormati nilai-nilai luhur Indonesia? Sepertinya kita semua mengantongi jawaban yang sama.
Muh Fitrah Yunus, M.H.
Pemerhati Kebijakan Publik
Pengurus DPP IKA Jogja SulSelBar