Oleh : Arwani Thomafi
Sekjen DPP PPP; Santri PP Al Munawir Krapyak, Jogjakarta, 1995-1999
Jakarta – “Urusannya NU itu memperbaiki kinerja, memenangkan Indonesia, bukan memenangkan capres”. Penggalan pidato Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) saat acara pembukaan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) di PP Al-Munawwir, Sewon, Krapyak, Yogyakarta, pada Senin (29/1), kini menjadi perbincangan hangat publik.
Pernyataan Gus Mus itu beredar luas di pelbagai platform media konvensional maupun media sosial. Respons publik, baik warga NU maupun di luar warga NU, menyambutnya dengan positif. Hal ini terpotret melalui ketersebaran berita, video, meme pernyataan Gus Mus tersebut dengan tone dan engagement yang amat positif.
Pesan lugas Gus Mus tentang posisi NU dalam kontestasi pemilihan menjadi peringatan (tanbih) kepada jamiyyah NU untuk senantiasa berpegang pada garis perjuangan (khittah) NU yang fokus berkhidmat pada Indonesia. Bukan cawe-cawe dalam urusan politik praktis. Peringatan ini terasa kontekstual di tengah rumor dan desas-desus ihwal keterlibatan PBNU dalam urusan politik pemilihan pada Pemilu 2024.
Meski sejatinya, pernyataan Gus Mus seturut dengan kebijakan PBNU yang menonaktifkan pengurus NU yang terlibat aktif sebagai tim pemenangan pasangan calon presiden-wakil presiden. Pilihan kebijakan ini memberi garis demarkasi yang tegas mana urusan publik organisasi yang tunduk pada Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) dan mana urusan privat personalia PBNU dalam kapasitasnya sebagai warga negara yang memiliki hak politik.
Agenda memenangkan Indonesia yang disebutkan Gus Mus tak lain juga merupakan tema besar agenda Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU, yakni ‘Memacu Kinerja, Mengawal Kemenangan Indonesia’. Di atas kertas, NU sebagai organisasi kemasyarakatan menyadari tentang mandat yang berasal dari ulama berupa pendampingan dan advokasi kepada masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia, yang merupakan perintah konstitusi.
Kepentingan Nahdliyin
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebut populasi warga NU (nahdliyin) pada tahun 2023 menembus di angka 56,9% dari populasi masyarakat Indonesia. Angka ini mengalami peningkatan lebih dua kali lipat dibanding 18 tahun lalu.
Tren peningkatan jamaah NU ini, satu sisi menunjukkan penetrasi model dakwah NU di kalangan muslim Indonesia diterima dengan baik. Namun di sisi lain, kuantitas warga NU ini sekaligus memiliki tantangan yang tidak ringan terkait persoalan sosial masyarakat, terutama dalam urusan hak dasar warga seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Dari data yang sama tergambar profil mayoritas warga NU (62,8%) merupakan lulusan SD dan SMP, mayoritas warga NU (77,9%) berada di pulau Jawa, dan hampir separuh warga NU (48%) berpenghasilan rerata Rp 2 juta per bulan, persoalan ekonomi dinilai mayoritas warga NU (62,6%) sebagai masalah penting. Gambaran warga NU tersebut dapat menjadi pemandu bagi NU untuk mengurai tentang kepentingan warga NU (nahdliyin interest) dalam kehidupan di ruang publik.
Persoalan publik yang menjadi isu krusial di skala nasional pada akhirnya juga terpotret dan menimpa pada warga NU. Urusan ekonomi hingga saat ini masih menjadi persoalan krusial masyarakat, tak terkecuali yang menimpa warga NU. Persoalan akses bahan pokok yang murah, dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang mudah merupakan isu krusial yang dari hari ke hari belum menemukan formula idealnya.
Di sektor pertanian tak kalah pelik. Apalagi mayoritas warga NU berada di sektor ini. Nilai tukar petani (NTP) hingga saat ini juga tak kunjung pada titik ideal dan normal, di mana indeks harga yang diterima petani dengan nilai harga yang dikeluarkan petani tidak equal, bahkan kerap berat sebelah. Persoalan krusial ketersediaan pupuk, satu hal yang hingga saat ini tak kunjung ada jalan keluarnya.
Persoalan hak dasar warga seperti pendidikan, kesehatan, tempat tinggal yang layak, juga masih menjadi isu yang timbul tenggelam dalam kehidupan bermasyarakat. Artinya, di sektor yang langsung berhubungan dengan hak dasar warga negara ini, juga tidak dalam skala yang ideal.
Pelbagai persoalan yang mengemuka itu hakikatnya merupakan bagian dari nahdliyin interest yang menjadi core business bagi NU dan para pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya untuk memastikan penyelesaian dan formula ideal untuk mengurangi beban hidup warga.
Mandat yang tidak ringan itu, dibutuhkan komitmen yang kuat dengan berpedoman pada nilai organisasi serta sebanyak-banyaknya melakukan kerja kolaboratif dengan pelbagai pihak tanpa melihat latar belakang politik yang sempit. Pada titik ini, NU tampil sebagai organisasi keagamaan yang berdiri di atas semua kelompok.
Moderasi NU
Sikap tengah, berdiri di atas golongan, dan kelompok politik merupakan implementasi politik moderasi NU dalam menghadapi kontestasi politik baik di level lokal maupun level nasional. Politik yang menempatkan NU bukan sebagai supporter, subordinat, dan partisan dari kelompok politik yang berorientasi kekuasaan berjangka pendek.
Momentum Pemilu 2024 menjadi ujian bagi NU untuk senantiasa bersikap konsisten. Komitmen PBNU di bawah KH Yahya Staquf pasca muktamar ke-34 NU di Lampung pada 2021 untuk NU tidak berpolitik praktis harus senantiasa dijaga, dirawat, dan disebarluaskan agar menjadi pemahaman yang inherent bagi penggerak NU di pelbagai tingkatan struktur.
Sikap ini bukan berarti mengerdilkan aspirasi politik warga NU maupun keluarga besar NU yang memiliki ketertarikan dan passion di bidang politik. Kebebasan berpolitik warga NU senantiasa dijunjung tinggi karena hal itu merupakan hak bagi setiap warga negara. NU tidak dalam kapasitas mengarahkan atau memobilisasi pilihan politik warganya. Sikap mobilisasi jelas bertolak belakang dari habitat NU yang tumbuh dan berkembang dari pesantren yang dikenal mandiri dalam urusan politik.
NU sebagai organisasi mestinya berada pada tataran politik nilai (politic of value) yang dapat menjadi rujukan sekaligus pedoman dalam berpolitik warga NU, hal ini pula lazim dikenal sebagai fiqh siyasah. Isu yang terkait dengan politik nilai yang belakangan mengemuka seperti etika politik (political ethic), politik uang (money politic) dan korupsi politik (political corruption) seharusnya menjadi perhatian NU.
NU secara kelembagaan berada di atas semua pasangan calon presiden. Dengan cara ini, NU tidak terjebak pada urusan sempit ‘siapa’, namun pada urusan besar ‘apa’ yakni nilai politik yang menjadi koridor dalam kontestasi politik elektoral. Cara ini pula menjadikan NU berwibawa di mata warganya dan di mata publik. NU berdiri tegak berada di tengah untuk semua.
Pilihan sikap ini akan menjadikan NU tetap dalam memacu kinerja organisasi dan dalam jalur rute memenangkan Indonesia. Kemenangan Indonesia tidak tersimplifikasi pada kemenangan pasangan calon dalam pemilu, namun kemenangan itu lahir dari rakyat yang berdaulat dengan pemenuhan kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera lahir dan batin. Selamat harlah ke-101 Nahdlatul Ulama (NU), sukses memenangkan Indonesia.
*Tulisan ini dimuat di detik.com