Jakarta – Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Iip Miftahul Chory meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar mempertimbangkan kualitas penjabat (pj) kepala daerah, mengingat di 2024 akan ada 272 daerah yang akan digantikan oleh penjabat pengganti.
“Kami menginginkan ada regulasi solutif terkait ini, karena kita menghadapi pemilu serentak, kita khawatir ada kepentingan-kepentingan berbeda serta ada penyimpangan dan pemanfaatan kepentingan politik tertentu,” papar Iip saat mengisi seminar fraksi PPP DPR RI dengan tema “Kewenangan dan Penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Daerah, Profesional atau Politis dalam Otonomi Daerah di Era Demokrasi, Jumat 17 Juni 2022.
Dikatakan Iip, apalagi dalam hal penunjukan penjabat kepala daerah tersebut tidak ada fit and proper test untuk menguji kualitas.
“Kemudian dikhawatirkan pada prosesnya terjadi ajang transaksi dan terkadang dimanfaatkan oleh oknum tertentu,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi PPP Achmad Baidowi mengatakan sudah dijelaskan dalam UU No 10 tahun 2016 dalam mengisi kekosongan waktu maka ditunjuk penjabat dari PJT tingkat pratama dan madya. Namun pemahaman tentang penunjukan penjabat kepala daerah ini harus betul-betul tersampaikan dengan benar kepada masyarakat.
“Misalnya kemarin ada yang menghujat pemerintah terkait ada TNI yang ditunjuk oleh pemerintah menjabat Pj kepala daerah. Padahal di aturannya TNI aktif tidak boleh menjabat menjadi kepala daerah,” jelasnya.
Dikatakannya, terkait pengangkatan dan penunjukan penjabat daerah ini harus sesuai undang-undang namun ada selanjutnya yang kurang dicermati adalah atas dasar pertimbangan strategis nasional maka penjabat itu diangkat oleh pusat.
“Inilah yang seharusnya dijelaskan oleh Kemendagri dalam forum ini.” katanya.
Sementara itu, Direktur Otonomi Khusus Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Andi Batara mengatakan adanya penjabat pengganti kepala daerah itu sebenarnya bukan hal yang baru dikenal di Indonesia, bahkan terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Namun tahun 2022 dan 2023 ini menjadi ramai dikarenakan banyak faktor.
“Pertama jumlahnya yang banyak, durasinya yang panjang serta beririsan dengan 3 level kontestasi yang akan dihadapi pada pemilu 2024 nanti, Ini kemudian menjadi perhatian publik,” jelasnya.
Namun setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 terkait dengan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang pada saat itu disusun UU Pilada maka kemudian MK memutuskan melakukan penyerentakan Pilkada. Keserentakan ini, kata Andi, disepakati sehingga lahir UU Pilkada.
“Maka diaturlah untuk menyatukan menjadi titik kumpul di 2024, itu diatur dalam aturan peralihan untuk menjamin kepastian hukumnya,” jelasnya.
Berdasarkan aturan tersebut maka berdampak pada akhir masa jabatan (amj), pilkada 2017 akan berkahir pada 2022, sementara 2018 berakhir pada 2023 kemudian 2019 akan berakhir 2024.
“Mau tidak mau kepala daerah ini harus berhenti dari jabatannya meskipun durasinya tidak cukup 5 tahun. Sehingga untuk mengisi kekosongan jabatan maka diberikan kepada Jabatan Pimpinan Tertinggi (JPT) Madya dan Pratama dan ini domainnya pemerintah,” jelasnya.
Sementara itu, pemetari lainnya, Ketua Departemen Pengembangan Keilmuan Pemerintahan Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) Dr. Muhadam Labolo mengatakan konteks daerah itu ada dua, pertama adalah daerah wilayah administrasi sekaligus daerah otonom untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. Kemudian, kedua Kabupaten dan Kota hanya semata-mata Daerah Otonom.
“Maka kalau dikaitkan dengan konteks penunjukan penjabat kepala daerah, kenapa tidak dipilih oleh DPRD, ini yang seharusnya dibangun dalam persepsi undang-undang,” jelasnya.
Dikatakannya, saat ini seluruh penjabat kepala daerah itu dari pusat karena Pasal 201 ayat (10) mendesain undang-undang bahwa level kabupaten/kota itu seolah daerah administrasi, padahal itu merupakan daerah otonom, yang lebih tepatnya penjabat kepala daerah dipilih oleh DPRD.
“Saran saya kemungkinan kedepan dalam konteks ini dipilih saja dari DPRD untuk menghindari konflik dan kepentingan politik,” tandasnya.