Sangat sederhana mendefinisikan Pahlawan, tak lain dan tak bukan adalah setiap orang yang merelakan jiwa raganya, ikhlas berjuang mempertahankan kedaulatan negara, berkarya, berprestasi berjasa demi kemajuan negaranya.
Secara umum, Frank Farley, seorang psikolog Temple University, mendefinisikan pahlawan sebagai orang yang mempunyai sifat berani, baik hati, berjasa, murah hati, terampil, cerdas, lurus hati, dan sanggup mengambil resiko.
Seorang pahlawan, jika masuk dalam kategori di atas, tentu seseorang yang dapat menumbuhkan keluhuran dalam jiwa serta membumikan nilai-nilai itu dalam setiap kehidupannya. Menumbuh suburkannya. Membangun serta mampu mempersatukan dan menggerakkan manusia-manusia lainnya, memberikan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa dan negara.
Dengan tema “Pahlawanku Teladanku”, Indonesia mencoba menarik kembali masyarakat agar mampu meneladani sifat dan perjuangan para pahlawan yang berkorban, berjuang, merelakan jiwa raganya demi anak-cucu bangsa di kemudian hari. Mereka tidak pragmatis, memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri. Mereka berpikir jauh ke depan, yaitu untuk kepentingan dan kemajuan bersama.
Pesan Bung Karno, “Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”, merupakan pesan yang melampaui zaman. Menghargai jasa pahlawan tentu tidak sekedar memperingati hari pahlawan di setiap tahunnya, namun seirama dengan tema hari pahlawan tahun ini, maka meneladani para pahlawan adalah implementasi konkret dibanding sekedar memperingati.
Kaum Santri
Dari semua elemen bangsa yang ada, kaum santri adalah salah satu elemen yang diharap mampu memberikan sinyal positif dalam meneladani jiwa kesatria, rela berkorban, baik hati, murah hati dan lurus hati dari para pahlawan.
Betapa tidak, santri adalah perwujudan anak bangsa yang memiliki keyakinan bahwa mencitai serta membela negara sama halnya mencintai dan membela agama. Mempertahankan kedaulatan negara demi tegaknya Islam adalah jalan jihad. Maka jihad demi negara merupakan suatu kewajiban.
Pancasila sebagai landasan dasar berbangsa dan bernegara saat ini juga memberikan penegasan bahwa empat sila dari kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan yang diejawantahkan tujuannya adalah dalam rangka jihad. Ibadah. Itulah mengapa sila pertama Pancasila menempatkan Ke-Tuhan-an yang Maha Esa di tempat teratas dari lima sila yang ada.
Spirit jihad maupun ibadah itu tentu sangat dekat dengan kehidupan santri. Religiusitas dan nasionalisme melebur jadi satu membentuk sebuah spirit membangun serta memajukan bangsa dan negara. Seperti kriteria pahlawan yang tidak sekedar memikirkan diri sendiri, namun juga berpikir jauh tentang generasi masa depan. Bagaimanapun wujud tantangan kedepan, kaum santri senantiasa harus mampu dan siap menghadapinya.
Era Post-Truth
Post-truth adalah salah satu tantangan besar yang mesti dihadapi oleh kaum santri saat ini.
Ralph Keyes (2004) dalam The Post Truth Era memberikan gambaran bahwa saat ini dunia sedang berada di era kebenaran dan dusta, kejujuran dan ketidakjujuran, fiksi dan non-fiksi yang tidak bisa dibedakan lagi. Perbedaannya sangat tipis. “Batasannya kabur,” kata Keyes.
Setelah era postmodern yang dicirikan salah satunya dengan mobilitas masyarakat tanpa batas, “manusia yang terus bergerak”. Dalam istilah Zygmunt Bauman (1925-2017), “kali ini kita dihadapkan dengan era dimana post-truth (paska kebenaran) sedang bekerja”.
Jika postmodern melahirkan mobilitas masyarakat yang tinggi dan tanpa batas, post-truth hadir dengan wajah kebenaran dan dusta, kejujuran dan ketidakjujuran. Namun keduanya sama-sama didukung dengan teknologi yang semakin canggih.
Ciri khas post-truth adalah menipu, meski terlihat seperti suatu kebenaran. Karena, mereka yang berpaham post-truth, menipu orang lain sudah menjadi tantangan, seni, permainan bahkan kebiasaan dan budaya. Anehnya lagi, mereka mendapat tempat di hati masyarakat dan status sosialnya tinggi.
Dengan ciri khas era post-truth di atas, sudah pasti hal ini merupakan tantangan besar bagi kaum santri di zaman serba digital saat ini. Menghadirkan dan mengampanyekan suatu kebenaran hakiki dengan didukung dengan fakta-fakta yang valid adalah kebutuhan dalam membendung post-truth di ruang-ruang digital.
Apalagi dalam etika bermedsos, sebagian masyarakat belum mampu menyaring dengan baik mana pemberitaan yang benar dan mana yang hoaks. Masyarakat hanya langsung membacanya sekilas, bahkan ada juga tidak membacanya, lalu langsung menshare, membagikan pemberitaan yang sesungguhnya hoaks. Tercatat di Kementerian Kominfo, bahwa di tahun 2021 telah menemukan dan melakukan penerbitan klarifikasi terhadap 1.773 misiformasi dan disinformasi yang beredar ke masyarakat.
Butuh spirit kepahlawanan tak menepi dalam membendung segala hal yang menyebabkan nilai-nilai luhur Pancasila tergerus habis di kehidupan sehari-hari hanya karena sesuatu yang hoaks. Meski tak semudah mendefinisikannya, spirit dan jiwa kepahlawanan itu mesti terpatri dalam sanubari para kaum santri saat ini, serta terejawantah di ruang-ruang digital dalam rangka membendung segala bentuk hoaks. Apalagi, mengingat perayaan hari santri akhir bulan lalu yang mengangkat dan menegaskan tema, “Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan”. Semoga!
Muh Fitrah Yunus, M.H.
Pemerhati Kebangsaan