Kepergian Hamzah Haz menjadi kehilangan besar bagi PPP. Seperti apa kiprahnya saat masih memimpin PPP?
Meski sudah sejak 1971 berkontribusi bagi Partai Persatuan Pembangunan (kala itu masih bernama Partai Nahdlatul Ulama), Hamzah Haz tidak pernah berambisi memimpin partai tersebut. Namun, dukungan yang kuat dari kader dan pengurus PPP membuatnya tak ada pilihan lain. Ia pun tercatat dalam sejarah sebagai figur yang mampu mempertahankan PPP di masa krusial pascareformasi.
Dikutip dari buku Hamzah Haz, Konsistensi dan Integritas Perjuangan di Bawah Panji-panji Ka’bah, kesempatan Hamzah menakhodai PPP sebenarnya sudah terbuka saat Muktamar III PPP pada 1994. Namanya sempat disebut-sebut sebagai salah satu kandidat kuat, tetapi Hamzah memutuskan untuk tak terlalu menunjukkan kengototannya maju dalam pencalonan. ”Saya memang tidak berambisi menjadi ketua umum DPP PPP sehingga saya tidak mempersiapkan diri walaupun sebenarnya banyak disebut-sebut orang,” ujarnya kala itu.
Namun, beberapa tahun berselang, persisnya dalam Muktamar IV PPP 1998, ia tak bisa lagi menolak. Dukungan para kader dan pengurus daerah PPP lebih kuat agar Hamzah menjadi salah satu kandidat pemimpin partai politik itu setelah Orde Baru tumbang. Setelah berkonsolidasi dengan para pendukungnya, Hamzah maju menjadi salah satu kandidat ketua umum PPP yang dipilih dalam Muktamar IV PPP. Melalui pemungutan suara, Hamzah yang unggul atas kandidat lain, yakni AM Saefuddin, terpilih menjadi ketua umum PPP periode 1998-2003.
Padahal, Hamzah tak pernah bermimpi menjadi ketua umum. Dari segi latar belakang politik, ia bukan sosok yang jago bersilat lidah soal politik. Basis massa pendukung PPP terbesar adalah kalangan santri, sedangkan dirinya bukan orang yang berpendidikan pesantren atau memiliki pesantren. Begitu pula dari segi asal-usul daerah Hamzah, yakni Kalimantan Barat, bukanlah dari masyarakat yang mayoritas pendukung PPP
”Dari berbagai sudut logika memang tidak mungkin saya bisa sampai di posisi ketua umum. Jadi, kemungkinan kalau saya bisa sampai di sini adalah, ya, karena saya selalu all out di dalam memberikan apa yang saya dapat berikan ke partai,” tutur Hamzah Haz kala itu.
Mengemban kepercayaan itu, ia pun memilih merendah. ”Yang menang adalah PPP. Tidak ada yang kalah. Jangan bicara dulu soal jabatan presiden. Yang lebih penting adalah menghadapi pemilu yang akan datang,” kata Hamzah sesaat setelah dirinya terpilih (Kompas, 3/12/1998).
Prioritas Hamzah pada pemenangan Pemilu 1999 tidak terlepas dari dinamika politik saat itu. Indonesia baru saja memasuki era demokratisasi setelah gerakan Reformasi 1998 menumbangkan Orde Baru. Pada 1999, Indonesia bakal menghadapi pemilu langsung yang diikuti oleh banyak partai politik (parpol) untuk pertama kalinya. Sebelumnya, selama 32 tahun, hanya ada tiga parpol peserta pemilu, yakni Golkar, PPP, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Terbentuknya banyak parpol sebagai konsekuensi demokratisasi pun berdampak pada terpecahnya pilihan masyarakat. Kelompok pemilih Islam yang sebelumnya menjadi basis massa pendukung PPP memiliki beberapa alternatif, misalnya Partai Ummat Islam, Partai Keadilan, Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan Umat, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Oleh karena itu, PPP pun harus bersiasat.
Di bawah kepemimpinan Hamzah, PPP mengimplementasikan rumusan yang telah diputuskan dalam Muktamar IV, salah satunya kembali kepada jati diri, yakni Islam sebagai asas partai. Hal itu untuk menegaskan identitas partai yang dibentuk dari hasil fusi empat partai, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi atau MI), Partai Islam Perti, dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) (Kompas, 24/11/1998). Hasilnya, saat mengikuti Pemilu 1999, PPP memperoleh 11,3 juta suara atau 10,71 persen dari total suara nasional. Dari perolehan suara itu, PPP mendapatkan 58 kursi atau 10,5 persen dari total kursi yang ada di DPR.
Jika dibandingkan dengan era Orde Baru, perolehan suara dan kursi PPP merosot drastis. Sepanjang lima pemilu sebelumnya, PPP selalu mendapatkan suara di atas 15 persen dengan perolehan 60-100 kursi. Pada pemilu terakhir Orde Baru, yakni pada 1997, PPP memperoleh suara hingga 22,43 persen dan 89 kursi di DPR.
Meski turun, raihan suara dan kursi pada Pemilu 1999 itu masih menempatkan PPP sebagai partai besar di antara 48 parpol peserta pemilu. Dari 19 parpol yang merebut kursi di parlemen, PPP menempati urutan ketiga setelah PDI-P dan Partai Golkar.
Keberhasilan Hamzah mempertahankan suara partai di masa awal pascareformasi, menurut Ketua DPP PPP sekaligus Sekretaris Fraksi PPP di DPR era 1990-an, Bachtiar Chamsyah, terjadi karena kepiawaiannya menjaga keseimbangan antarfaksi di internal. Sebagai bagian dari NU, Hamzah selalu mengangkat tokoh berlatar belakang Parmusi sebagai sekretaris jenderal. Dengan begitu, jarang ada konflik internal yang signifikan hingga berdampak pada akar rumput. ”Dia jaga betul (soliditas partai dari konflik internal). Kuncinya adalah keseimbangan itu,” ujar Bachtiar, Rabu (24/7/2024).
Lebih dari itu, kata Bachtiar, ia juga pernah menguji komitmen Hamzah pada demokrasi internal partai. Dalam Muktamar V PPP 2003, Bachtiar mencoba untuk ikut serta dalam pemilihan ketua umum PPP dan ia merasa terkejut karena Hamzah tak melarangnya meski saat itu Hamzah menjabat Wakil Presiden ke-9 RI. Bachtiar yang saat itu menjabat Menteri Sosial pun menjadi salah satu pesaing terkuat Hamzah meski akhirnya kalah.
”Setelah saya kalah, lalu utusan Pak Hamzah datang kepada saya menawarkan ingin menjadi wakil ketua umum atau sekretaris jenderal? Jadi, yang menarik bagi saya adalah dia menjaga demokrasi, bukan berarti kalau kita melawan dia lalu dihabisi saat dia menang,” tutur Bachtiar.
Menjadi wapres
Tak hanya menjaga posisi PPP sebagai partai besar di masanya, Hamzah juga merupakan satu-satunya kader PPP yang bisa menjadi wapres. Hamzah menjadi wapres setelah terpilih melalui Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR pada Juli 2001. Hamzah mengisi posisi Megawati Soekarnoputri yang naik menjadi Presiden ke-5 RI setelah Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR.
Hamzah memenangi pemilihan wapres yang digelar dalam tiga putaran. Ia mengalahkan empat tokoh lain, yakni Akbar Tandjung, Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, dan Siswono Yudo Husodo, dalam pemilihan suara. Dari 610 suara anggota MPR yang menghadiri sidang saat itu, Hamzah meraih 340 suara atau unggul 103 suara atas Akbar Tandjung yang meraih 237 suara. Adapun 29 suara lain abstain dan 4 suara lainnya dinyatakan tidak sah.
Dalam pidato inaugurasinya, Hamzah berkomitmen untuk membangun hubungan yang harmonis dengan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk menciptakan pemerintahan yang efektif. Ia pun mengajak seluruh elemen bangsa untuk melakukan islah atau rekonsiliasi nasional. Sikap islah itu juga ia tunjukkan dengan mengunjungi Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid di Istana Merdeka. Sebagai wapres, Hamzah juga mengucapkan selamat jalan kepada Abdurrahman Wahid yang akan berobat ke Amerika Serikat (Kompas, 27/7/2001).
Anggota Fraksi PPP di DPR pada 1997-1999 dan 1999-2004, Akhmad Muqowam, mengatakan, keterpilihan Hamzah sebagai wapres merupakan bagian dari proses panjang karier politiknya. Mulai dari aktivis di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), menjadi wartawan di sejumlah media massa, hingga lebih dari 30 tahun menjadi anggota DPRD dan DPR.
”Pak Hamzah memberikan contoh bahwa dalam politik itu harus ada kaderisasi. Lebih dari itu, ada nilai yang dijunjung bahwa dalam proses kenegaraan itu tidak ada yang boleh terjadi secara instan,” ungkap Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Alumni PMII itu.
Selain itu, menurut Muqowam, Hamzah merupakan tokoh pemimpin dari kalangan Islam moderat yang mampu bernegosiasi dengan semua kalangan. Dengan latar belakang itu, Hamzah menjadi pendamping yang tepat bagi Presiden Megawati yang merupakan tokoh dari kalangan nasionalis dalam menghadapi tantangan zaman kala itu.
”Dalam konteks NKRI dan spirit religiositas Pancasila, orang yang berada di tengah, moderat, wasathiyah, itu akan jadi pendulum. Begitu juga Pak Hamzah yang menjadi pendulum penjaga keseimbangan,” ujarnya.
Kini Hamzah telah berpulang, tetapi jasa dan warisannya tetap abadi bagi Indonesia. Selamat jalan, Pak Hamzah!
Penulisa : KURNIA YUNITA RAHAYU
Sumber : Kompas.id