Sistem Pemilu Campuran, Mungkinkah?

Menjelang Pemilu 2024, sejumlah calon legislatif (caleg) di semua partai politik dihantui kegamangan. Khususnya mereka yang tidak menduduki jabatan penting di struktur partai karena menggantungkan nasibnya kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Kok bisa?

Ini semua terkait dengan uji materi UU 7/2017 tentang Pemilu Pasal 168 yang mengatur mengenai penyusunan daftar caleg. Pasal 168 ayat (2) menyebutkan ‘Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka’.

Uji materi dengan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu itu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI Perjuangan), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Adanya uji materi tersebut membuat penyusunan daftar caleg di partai politik sedikit tersendat. Sebab, sejumlah pendaftar masih menunggu kejelasan sistem pemilu untuk melengkapi berkas. Bahkan sebagian tokoh-tokoh potensial mengurungkan niatnya menjadi caleg.

Umumnya mereka yang tidak masuk struktur partai masih galau karena khawatir MK memutuskan sistem proporsional terturup, meskipun pemerintah bersama DPR dan KPU sudah memutuskan melaksanakan tahapan pemilu dengan skema sistem terbuka. Jika MK memutuskan uji materi itu, kesepakatan pemerintah bersama DPR dan KPU menjadi tidak berarti.

Wakil Rakyat atau Wakil Partai
Perdebatan mengenai sistem pemilu tentunya berkorelasi dengan diskursus keterwakilan di parlemen. Muncul perdebatan, sejatinya anggota parlemen itu mewakili rakyat atau mewakili partai?

Bagi yang memilih sistem terbuka, dengan tegas menyatakan bahwa anggota parlemen adalah wakil rakyat. Satu suara yang dipilih saat Pemilu disalurkan kepada figur yang dianggap mewakilinya. Maka, jika di daerah pemilihan tersebut parpol memperoleh kursi, caleg yang memperoleh suara terbanyak kemudian yang berhak.

Ada ungkapan latin vox populi, vox dei (suara rakyat, suara tuhan) yang selalu dijadikan landasan oleh penganut sistem terbuka bahwa suara rakyat merupakan suara Tuhan. Sehingga harus disalurkan kepada tokoh yang dikehendaki rakyat.

Sistem terbuka yang menentukan keterpilihan caleg adalah perolehan suara terbanyak yang diharapkan menjadi momentum bagi rakyat untuk menentukan caleg secara objektif. Menurut Syamsudin Haris (Kompas, 5 Januari 2009), sistem terbuka bisa menjadi momentum bagi rakyat untuk mengadili para wakil dan partai yang tidak bertanggung jawab.

Setelah menunggu hampir lima tahun, inilah saatnya rakyat bicara, memilih caleg dan atau partai yang dianggap lebih menjanjikan dibandingkan yang lain. Harapannya, mekanisme suara terbanyak berkorelasi positif bagi peningkatan kualitas para wakil terpilih dan parlemen.

Penggambaran di atas memang secara idealitas cukup bagus, namun dalam praktik di lapangan banyak yang belum sesuai. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ternyata sistem terbuka yang merupakan representasi pemilih ini tidak sepenuhnya mencerminkan pilihan sesuai hati nurani.

Tak sedikit caleg yang bermodal besar dan ‘bergaya’ sinterklas justru mendapatkan dukungan maksimal, mengalahkan pengurus parpol yang sudah lama malang melintang dalam perpolitikan. Figur yang baru muncul dalam perpolitikan tiba-tiba menjadi anggota parlemen karena memiliki sokongan finansial yang kuat.

Mengutip data dari Komite Pemilih Untuk Indonesia (TePI) (Republika 09 Februari 2016) dari 11 ribu caleg tingkat nasional, semuanya berpotensi melakukan politik uang. Koordinator TePI Jeirry Sumampow menyebutkan sistem proporsional terbuka tidak akan mampu melaksanakan pendidikan politik untuk rakyat. Alasannya, caleg yang lebih aktif bukan partai. Caleg akan melakukan mobilisasi massa untuk mendapatkan dukungan.

Sebaliknya, yang mendukung sistem tertutup beranggapan bahwa peserta pemilu adalah partai politik. Karena itu, aspirasi politik disalurkan melalui partai politik. Selanjutnya partai politik yang berwenang menentukan siapa yang mewakili di parlemen ketika mendapatkan kursi di daerah pemilihan.

Sistem ini diyakini akan memperkuat sistem kepartaian di Indonesia. Miriam Budiarjo (2002) menyebutkan bahwa salah satu fungsi partai politik adalah rekrutmen politik. Karena itulah, partai politik merekrut figur-figur potensial untuk menjalankan aktivitas kepartaian.

Selanjutnya, para pengurus partai politik ini mendapatkan insentif dengan dicalonkan sebagai anggota parlemen. Nah, melalui sistem tertutup ini para aktivis partai yang sudah berkontribusi dan berkiprah mendapatkan prioritas untuk diusulkan sebagai calon legislatif. Ketika sistem tertutup, maka partai politik lebih leluasa menyeleksi kader-kader potensial untuk dicalonkan pada pemilu.

Hanya saja, rakyat tidak bisa secara langsung menentukan calon anggota parlemen yang sesuai dengan ekspektasinya. Karena itu, dalam sistem tertutup akan sedikit sekali tokoh-tokoh baru yang terpilih sebagai anggota parlemen. Sebab, dalam menentukan nomor urut caleg, pimpinan parpol akan memberikan prioritas bagi pekerja partai. Sedangkan, para tokoh baru kemungkinan akan mendapatkan nomor sepatu dalam penyusunan daftar caleg.

Ijtihad Politik Hukum
Dua pendekatan sistem terbuka dan sistem tertutup tidak akan ketemu satu sama lain. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan bergantung dari perspektif yang digunakan.

Jika pendekatannya sistem kepartaian, maka yang cocok adalah sistem tertutup. Sebaliknya, jika pendekatannya representasi pemilih maka yang cocok adalah sistem terbuka. Untuk menjembatani dua pendekatan tersebut perlu dilakukan ijtihad politik hukum atau terobosan hukum yang bisa mengakomodasi dua pandangan tersebut.

Salah satu yang bisa diterapkan adalah sistem campuran (mix system), yakni menggabungkan antara tertutup dan terbuka. Usulan penggunaan sistem campuran ini pernah disinggung dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) (detikcom, 9 Mei 2023).

Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam persidangan tersebut mencontohkan mix system di Skotlandia, yakni kebijakan afirmasi bagi caleg perempuan. Di negara Skandinavia tersebut, keterwakilan berbasis perempuan/gender dan yang harus dipilih secara affirmative action dilakukan menggunakan sistem tertutup. Di luar tujuan itu dilakukan secara terbuka.

Hal serupa disampaikan anggota hakim MK Arief Hidayat (detikcom, 9 April 2023). Dia menyebutnya hybrid system, yakni menggabungkan sistem terbuka dan tertutup.

Arief mencontohkan sistem proporsional terbuka dipakai untuk memilih presiden/wakil presiden dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan pileg menggunakan sistem proporsional tertutup.

Hanya saja, contoh yang disampaikan Arief Hidayat tersebut kurang tepat, karena menyamakan antara pemilihan anggota DPD dengan pemilihan umum legislatif (pileg) sangatlah berbeda. DPD merupakan pemilihan melalui jalur perseorangan sementara pileg melalui partai politik.

Sistem campuran yang kami maksud adalah kombinasi berbasis perolehan suara. Bagi dapil yang perolehan suara parpol melebihi suara masing-masing caleg, maka penentuan caleg terpilih diserahkan kepada parpol. Sementara bagi dapil yang perolehan caleg ada yang melebihi suara parpol, maka yang terpilih adalah caleg dengan suara terbanyak.

Bagaimana jika ada pergantian antar waktu (PAW)? Jika perolehan suara parpol menempati nomor urut dua setelah caleg suara terbanyak, maka hak parpol menentukan caleg mana yang akan diajukan ke KPU. Sebaliknya, jika posisi kedua ditempati salah satu caleg, maka kandidat PAW menjadi milik caleg dengan perolehan suara terbanyak kedua.

Tentu usulan ini perlu dikaji secara mendalam, baik secara akademis maupun teknis di lapangan. Setidaknya ijtihad politik hukum perlu dilakukan untuk memecah kebuntuan. Toh, tidak ada yang salah dalam berijtihad. Dalam Islam disebutkan, jika hasil ijtihad salah maka dapat satu pahala, jika hasil ijtihad benar maka dapat dua pahala.

Penulis : Achmad Baidowi, Sekretaris Fraksi PPP DPR RI/Pengajar Prodi HTN STAI Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

INSTAGRAM

IKUTI KAMI

313,160FansSuka
53,232PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

TERKINI