NU, Menguatkan Khitah dan Mendayakan Nahdliyin

Jakarta – Konferensi Besar (Konbes) dan Musyawarah Nasional (Munas) Nahdlatul Ulama (NU) 2023 telah menghasilkan sejumlah keputusan penting bagi penguatan jamiyah dan jamaah NU. Rekomendasi yang dihasilkan memberi pesan kuat tentang makin kukuhnya NU dalam mengonsolidasikan organisasi khususnya dalam merespons kehadiran tahun politik lima tahunan ini.

Kepemimpinan Rois Aam KH Miftachul Achyar dan Ketua Umum Tanfidziyah KH Yahya Cholil Staquf hasil muktamar ke-34 NU di Lampung, akhir tahun 2021 lalu sejak awal berkomitmen untuk meluruskan arah hubungan NU dalam membangun relasi dengan organisasi politik di Indonesia.

Sikap yang lahir dari panggilan sejarah tersebut dibutuhkan daya tahan yang kuat, ajek, dan berani. Sikap yang tak mudah ini nyatanya mengalami pasang surut sejak pertama kali diputuskan dalam muktamar ke-28 di Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, 39 silam itu. Kiai Miftah dan Gus Yahya, senyatanya hingga kini telah berhasil menempatkan NU suprematif di atas semua organisasi politik di Indonesia.

Di sisi yang lain, konsistensi dalam menjaga dengan organisasi politik, seturut itu menjadikan NU sebagai organisasi yang selalu berinteraksi dengan dinamika zaman. NU bukan organisasi tak bertapak, yang posisinya di menara gading. Sejumlah rekomendasi yang dihasilkan dalam munas alim ulama ini berhasil memotret persoalan riil di tengah masyarakat.

Supremasi NU

NU dan politik sejatinya dua entitas yang lekat dan dekat. Hal ini tidak terlepas dari latar lahirnya NU tidak dilepaskan dari politik saat itu. Kelahiran NU tahun 1926 dilatari politik regional sebagai respons atas kebutuhan masyarakat Islam saat itu dan internasional terkait dengan kebijakan Saudi Arabia melalui peran ulama dalam Komite Hijaz.

Begitu pula pasca kemerdekaan, peristiwa resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 menjadi pembuktian komitmen NU dalam politik kebangsaan. Resolusi jihad, menjadi pemantik sekaligus penggerak bagi momentum bersejarah pada 10 November 1945 dengan tokoh sentral Bung Tomo dalam mempertahankan kemerdekaan RI.

Potret peristiwa penting yang menempatkan NU dalam lanskap sejarah penting perjalanan republik ini menjadi pengingat tentang peran dan posisi NU yang berinteraksi dengan dinamika politik kebangsaan. Sikap tersebut terkonfirmasi di pelbagai momen kritikal perjalanan republik ini

Kendati dalam perjalanannya, NU pernah menjadi partai politik sebagai peserta Pemilu 1955, salah satu pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1973, dan membidani pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tahun 1998, hakikatnya menjadi bagian tak terpisahkan dari proses NU kembali ke jalur perjuangan saat awal didirikan.

Sikap kembali ke jalur khitah sebagaimana di awal perjalanan ormas yang didirikan para ulama ini menjadi langkah tepat dan kontekstual di tengah kompleksitas tantantangan di tengah-tengah masyarakat.

Sikap NU berdiri di atas semua partai politik dan kelompok kepentingan menjadi pilihan strategis sebagai representasi dari kekuatan civil society yang menjadi mitra strategis negara serta berada terdepan dalam menyuarakan kemaslahatan publik (mashalih al-‘ibad).

Persoalan keagamaan, sosial, ekonomi, budaya, dan masalah publik lainnya yang terjadi di tengah masyarakat menjadi lapangan luas yang dapat menjadi perhatian kelompok masyarakat sipil. Pikiran dan pendapat alternatif dari luar entitas negara memiliki posisi penting sebagai bahan material dalam proses pembentukan kebijakan publik yang berorientasi luas bagi publik.

NU dengan kapasitas, jejak rekam, dan jumlah jamaah yang besar memiliki posisi penting dalam proses konsolidasi demokrasi yang meniscayakan berfungsinya ruang publik melalui aktifnya partisipasi publik. Menempatkan NU suprematif di atas semua partai politik dan kelompok kepentingan akan memudahkan ruang gerak organisasi dalam melakukan pendampingan terhadap masyarakat.

Nahdliyin Berdaya

Sejumlah rekomendasi yang dihasilkan Munas NU tampak kuat memberi pesan tentang kehadiran NU atas persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Seperti rekomendasi tentang pesantren di Indonesia yang tampak merefleksikan kebutuhan institusi pendidikan berbasis keagamaan itu.

Seperti usulan keberadaan Direktorat Jenderal yang khusus mengurus pondok pesantren di Indonesia serta dorongan penerbitan aturan turunan guna melengkapi keberadaan UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Rekomendasi itu tampak mengukuhkan NU dalam menjaga entitas utamanya dalam penguatan pondok pesantren.

Di bidang teknologi informasi, respons NU atas keberadaan artificial intelligence menunjukan kesigapan NU atas kemajuan teknologi yang berkorelasi dengan kebutuhan informasi masyarakat khususnya di bidang keagamaan.

Tidak hanya itu, Munas juga merekomendasikan agar NU memanfaatkan kemajuan teknologi AI menjadi milestone bagi organisasi ini menuju organisasi yang mengglobal. NU yang selama ini dilekatkan sebagai organisasi tradisional, pada kenyataannya telah bergeser menjadi organisasi modern yang adaptif dengan platform digital.

Gagasan internasionalisme NU juga semakin menguat yang dimulai dalam forum Religion-20 pada tahun 2022 lalu dengan mendorong agama sebagai bagian dari solusi atas persoalan global dunia.

Lebih operasional lagi, gagasan Fikih Peradaban yang telah menjadi diskursus utama di NU menempatkan isu perdamaian, keadilan dan penghormatan terhadap manusia menjadi dasar pijakan yang aplikatif melalui instrumen hukum Islam.

Pelbagai gagasan yang muncul belakangan dari NU bila ditarik benang merah memiliki spirit untuk mendayakan warga NU (nahdliyin) dan masyarakat luas di pelbagai sektor dengan menjadikan nilai Islam sebagai dasar yang operasional untuk mewujudkan kemaslahatan publik di ruang publik baik dalam konteks regional maupun internasional.

Arwani Thomafi, Sekjen PPP

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

INSTAGRAM

IKUTI KAMI

313,160FansSuka
53,232PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

TERKINI